Wednesday, September 23, 2009

Komunitas: Mutu Batin Kita

Kata Komunitas mengandung banyak muatan arti, yang baik maupun yang tidak baik. Komunitas dapat membuat kita membayangkan suatu kebersamaan yang kokoh, perjamuan bersama, cita-cita yang sama, dan pesta penuh kegembiraan. Komunitas juga dapat menunjuk pada suatu kelompok sektarian-eksklusif, bahasa yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu, kelompok tertutup yang anggota-anggotanya merasa sempurna dan puas tinggal di dalamnya.

Namun, sebenarnya komunitas menunjuk pada mutu batin. Komunitas berkembang berdasarkan keyakinan bahwa kita hidup bukan untuk diri kita sendiri, tetapi hidup satu bagi yang lain. Komunitas adalah buah kemampuan kita untuk menjadikan kepentingan orang lain lebih penting dari pada kepentingan kita sendiri (bdk Flp 2:4).

Oleh karena itu pertanyaannya bukanlah "Bagaimana kita dapat mendirikan suatu komunitas?" tetapi "Bagaiman kita dapat mengembangkan dan mematangkan hati yang siap memberi?"

Sumber : Sumber: Bekal Peziarahan Hidup, Henri J.M Nouwen, Penerbit Kanisius, Jakarta 2003

Thursday, August 27, 2009

Komunitas yang Dibangun atas Dasar Keheningan

Aku membaca tulisan ini di salah satu buku tulisan Henri Nowen. Menggelitik dan layak untuk direnungkan.

Keheningan memberikan salam kepada keheningan: itulah komunitas. Komunitas bukanlah tempat dimana kita tidak sendiri lagi, tetapi tempat dimana kita menghormati, menjaga dan dengan hormat memberi salam satu sama lain dalam kesendirian kita. Kalau kita membiarkan kesendirian kita membawa kita masuk ke dalam keheningan, keheningan kita itu akan mampu membuat kita bergembira dalam keheningan orang lain. Keheningan mengakarkan diri kita dalam batin kita. Keheningan tidak mendorong kita untuk mencari kawan yang akan memberikan kepuasan dalam waktu dekat, tetapi membuat kita kembali ke pusat batin kita dan membuat kita mampu mendorong orang lain melakukan hal yang sama. Pengalaman keheningan kita yang beragam adalah seumpama tiang-tiang lurus dan kuat yang menyangga atap rumah kita bersama. Degan cara itu, keheningan selalu menguatkan hidup komunitas.

A little bit confusing, right? But it is interesting indeed...

Sumber: Bekal Peziarahan Hidup, Henri J.M Nouwen, Penerbit Kanisius, Jakarta 2003

Tuesday, May 19, 2009

Sermon Pengurus, 17 Mei 2009. Bagaimana Membaca Perjanjian Lama?

Seharusnya thema kita adalah Facing Your Giant, yang akan membahas kisah Daud pada saat menghadapi Goliat.  Tapi ternyata P'Yongki membahas hal yang berbeda, tetapi lebih luas.
Beliau membukakan tentang bagaimana kita seharusnya membaca Perjanjian Lama.  Karena sebagian bersar perjanjian lama adalah kisah Narasi, yang dituliskan oleh para narator.  Siapa yang menjadi naratornya tidak selalu dapat dipastikan.  Tetapi dalam menulis narasi tersebut dalam setiap kisah pastilah Narator punya sudut pandang (point of view) yang ingin disampaikan.  Sebagai pembaca perjanjian lama kita harus jeli dalam melihat hal tersebut, point of view sendiri bisa dituliskan di awal atau di akhir dari sebuah kisah.
 
Selain point of view, yang sangat berperan dalam PL adalah penokohan.  Ada tokoh utama dan tokoh tidak utama.  Tokoh utama adalah tokoh yang selalu harus ada dalam cerita, kalau tokoh tersebut tidak ada maka rusaklah bangun cerita sedang dibuat tersebut.  
Penokohan sendiri ada dua jenis, 
  • Tokoh Datar, tokoh yang hanya digambarkan dengan satu atau dua karakteristik dan tidak lagi dikembangkan di dalam kisah, contohnya pada penokohan istri Daud Abigail, hanya digambarkan sebagi perempuan yang bijaksana dan elok,  selanjutnya tidak ada lagi penjelasan lain tentang Abigail. 
  • Tokoh Bulat (Round), tokoh yang digambarkan dengan sangat lengkap sehingga pembaca dapat melihat kelebihan dan kekurangan dari tokoh tersebut.
Nah dalam hal apapun dalam satu kisah, yang kita perhatikan adalah pesan apa yang ingin disampaikan oleh narator dari suatu kisah dan penokohannya.  Jika menafsirkan maka kita harus menafsirkan dari apa yang tertulis, bukan dari apa yang tidak tertulis.
 
Beliau mencontohkan begini,
Pada Kisah Raja Daud dan Betseyba, kidak digambarkan bagaimana karakter dari Betseyba, apakah dia seorang yang dingin?, apakah dia suka kepada Raja Daud?   Karena tidak digambarkan bagaimana perasaannya/responnya terhadap apa yang terjadi kepadanya.  Maka tak perlulah kita menduga-duga, bagaimana sebenarnya sifat Betseyba, karena pada kisah itu point of view narator di sini adalah tentang Daud.  Maka kita fokus ke Daud.
 
Kira-kira begitu penjelasannya.  Diskusi yang terjadi menjadi sangat menarik dikaitkan dengan pandangan-pandangan yang ada di masa sekarang yang mencuplik sedikit dari kisah Alkitab untuk melegalkan pendapat mereka, antara lain oleh kaum Homo (pada kisah Daud dan Yonathan) atau oleh kaum Feminis (pada kisah Ester vs Wasti). Menarik untuk dibahas kan?
( Jakarta)